Kamis, 27 Februari 2014

BAHASA HEWAN

INGIN BISA MEMAHAMI BAHASA HEWAN

Dikisahkan pada zaman Nabi Musa AS, ada seorang pemuda memohon beliau dengan berkata : ”Ajarkanlah aku bahasa hewan ya Rasul Allah. Lewat bahasa mereka, mungkin aku bisa memahami sesuatu yang bersifat batiniyah, karena bahasa manusia hanya mengurusi keperluan lahiriyah.”
Nabi Musa AS menjawab :” Janganlah engkau berkeinginan macam-macam. Kesadaran Rohani, pengalaman bathiniyah hanya dapat diperoleh dengan (menyelami) Tuhan. Tidak dapat diperoleh lewat bacaan atau wejangan.”
Pemuda itu masih saja mendesak Nabi Musa. Sang Nabi pun berfikir dalam hati. “Apabila saya mengajarinya, akan berbahaya bagi dia sendiri. Apabila saya tidak mengajarinya, dia akan bersedih hati. Ya Allah, Ya Rabb apa yang harus saya lakukan?”
Tuhan menjawab, “Kabulkan permintaannya, karena kami tidak pernah menolak permohonan seseorang”.
“Tetapi dia sendiri akan menyesali permintaannya itu….,” kata Nabi Musa.  
Tuhan menjawab, “(Bagaimanapun juga) kabulkan permohonannya. Beri dia kesempatan untuk memilih, mana yang baik dan mana yang tidak baik (bagi dirinya). Beri dia pedang dan biarlah dia sendiri yang menentukan mau membela mereka yang lemah, atau justru menindas mereka dengan pedang itu!”
Walau sudah diijinkan oleh Tuhan, Nabi Musa masih saja berupaya agar pemuda itu mengurungkan niatnya, “Apa yang kamu minta itu bisa mencelakakan dirimu. Lebih baik lupakan saja.”
Si pemuda berpikir sebentar, lalu menanggapi Nabi Musa, “Begini Nabi, ajarkan saya dua bahasa saja, yaitu bahasa anjing yang menjaga pintu rumahku dan bahasa unggas yang berada di dalam rumahku.”
“Baiklah, engkau akan memahami bahasa mereka.” Akhirnya Nabi Musa menyerah juga.
Esoknya, dia mendengar anjing dan unggas merebutkan sepotong roti. Si anjing mengeluh, “kamu kan bisa makan biji-bijian, padi dan lainnya. Biarkan aku yang memakan roti ini.”
Unggas menjawab, “Jangan ribut, Kang. Besok pagi, si kuda tua milik majikan kita itu akan mati. Kamu bisa berpesta pora. Roti ini untuk aku saja.”
Maka si anjing mengalah. Dan sang majikan bersyukur telah mendengar pembicaraan mereka. Hari itu juga dia menjual kudanya. “Biar si pembeli yang rugi, kenapa harus aku?” pikir dia.
Esoknya, si anjing mengeluh, “Eh unggas, kamu pembohong. Katanya kuda tua itu akan mati.”
“Memang mati. Tetapi apa boleh buat, kemarin sudah dijual oleh majikan kita. Jadi, ya mati dirumah majikannya yang baru. Tetapi jangan khawatir, Kang. Besok si keledai akan mati.” Si unggas memberi harapan baru.
Sang majikan yang mendengar hal itu, langsung menjual keledainya. Biar mati di rumah pemiliknya yang baru. Maka esoknya si anjing mengeluh kembali.
“Jangan menyalahkan aku, Kang. Keledai pun mati, tetapi di rumah pemiliknya yang baru. Begini, besok pagi si budak akan mati. Nah keluarganya pasti akan membagikan makanan kepada fakir miskin dan anjing-anjing sekampung.” Kata unggas.
Si majikan tidak mau rugi, maka budak itupun berpindah tangan (dijual).
Esoknya, si anjing marah besar, “Kok, begini jadinya!”
Si unggas menjawab, “Jangan khawatir, kali ini tidak salah lagi, besok yang akan mati majikan kita. Nah, besok pagi anaknya pasti memberi makanan (selametan). Dan pasti akan menyembelih sapi. Kamu berpesta deh…”
Mendengar ramalan tentang kematiannya, si majikan berkeringatan hingga seluruh badan basah kuyub. Berlari – lari dia mendatangi rumah Nabi Musa, “Nabi, lindungilah aku.”
“Lindungi kamu? Bukankah kamu sudah cukup pintar melindungi diri? Selama ini kamu sudah berhasil melindungi diri dari kerugian,” kata Nabi Musa.
“Maafkan aku Nabi.” Dan pemuda itu mulai menangis terisak – isak.
“Anak panah yang sudah dilepaskan tidak bisa kembali lagi. Saya hanya bisa berdoa agar imanmu dan kenyakinanmu menyertai kamu.”
Belum selesai mendengar jawaban sang Nabi, pemuda itu merasa mual. Seperti ingin muntah. Dengan dibantu oleh mereka yang mengantarnya, dia pulang ke rumah. Pikir dia, rasa mual itu disebabkan oleh salah makan. Dan kalau sudah muntah, rasa mualnya akan hilang. Dia masih tidak sadar bahwa ajalnya sudah dekat.
Esok harinya Nabi Musa berdoa, “Ya Allah, Ya Rabb. Biarkan iman dia, kenyakinan dia menyertai dia. Lindungilah dia.”
Tuhan menanggapi doa yang berasal dari hati yang tulus itu, “Musa, jika engkau menghendakinya, akan Kubangkitkan kembali jasadnya yang sudah tidak bernyawa.”
“Tidak, Tuhanku. Tidak. Apa gunanya kebangkitan dalam dunia ini, dunia yang sedang menuju kematian? Bangkitkanlah dia dalam alam yang kekal….”

SEKIAN………

Pelajaran yang bisa diambil:
Itulah manusia yang hanya memikirkan dunia, dia selalu merasa tidak puas dan selalu mengaitkan dengan untung-rugi, kelebihan yang ia miliki dengan menguasai bahasa hewan bukan menambah semakin mendekekatkan diri dengan Tuhannya, tetapi justru sebaliknya. Ketika mengetahui ajalnya sudah semakin dekat ia malah ketakutan.

Kira – kira bagaimana dengan anda? Bagaimana anda menghadapi kematian anda? Sudahkah anda persiapkan… ataukah anda masih takut seperti cerita diatas?   

Sumber dari : Kitab Masnawi - Jalaluddin Ar-Rumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar