INGIN BISA MEMAHAMI BAHASA HEWAN
Dikisahkan pada zaman Nabi Musa AS, ada seorang
pemuda memohon beliau dengan berkata : ”Ajarkanlah aku bahasa hewan ya Rasul
Allah. Lewat bahasa mereka, mungkin aku bisa memahami sesuatu yang bersifat
batiniyah, karena bahasa manusia hanya mengurusi keperluan lahiriyah.”
Nabi Musa AS menjawab :” Janganlah engkau
berkeinginan macam-macam. Kesadaran Rohani, pengalaman bathiniyah hanya dapat
diperoleh dengan (menyelami) Tuhan. Tidak dapat diperoleh lewat bacaan atau
wejangan.”
Pemuda itu masih saja mendesak Nabi Musa. Sang
Nabi pun berfikir dalam hati. “Apabila saya mengajarinya, akan berbahaya bagi
dia sendiri. Apabila saya tidak mengajarinya, dia akan bersedih hati. Ya Allah,
Ya Rabb apa yang harus saya lakukan?”
“Tetapi dia sendiri akan menyesali
permintaannya itu….,” kata Nabi Musa.
Tuhan menjawab, “(Bagaimanapun juga) kabulkan
permohonannya. Beri dia kesempatan untuk memilih, mana yang baik dan mana yang
tidak baik (bagi dirinya). Beri dia pedang dan biarlah dia sendiri yang
menentukan mau membela mereka yang lemah, atau justru menindas mereka dengan
pedang itu!”
Walau sudah diijinkan oleh Tuhan, Nabi Musa
masih saja berupaya agar pemuda itu mengurungkan niatnya, “Apa yang kamu minta
itu bisa mencelakakan dirimu. Lebih baik lupakan saja.”
Si pemuda berpikir sebentar, lalu menanggapi
Nabi Musa, “Begini Nabi, ajarkan saya dua bahasa saja, yaitu bahasa anjing yang
menjaga pintu rumahku dan bahasa unggas yang berada di dalam rumahku.”
“Baiklah, engkau akan memahami bahasa mereka.”
Akhirnya Nabi Musa menyerah juga.
Esoknya, dia mendengar anjing dan unggas
merebutkan sepotong roti. Si anjing mengeluh, “kamu kan bisa makan biji-bijian,
padi dan lainnya. Biarkan aku yang memakan roti ini.”
Unggas menjawab, “Jangan ribut, Kang. Besok
pagi, si kuda tua milik majikan kita itu akan mati. Kamu bisa berpesta pora.
Roti ini untuk aku saja.”
Maka si anjing mengalah. Dan sang majikan
bersyukur telah mendengar pembicaraan mereka. Hari itu juga dia menjual
kudanya. “Biar si pembeli yang rugi, kenapa harus aku?” pikir dia.
Esoknya, si anjing mengeluh, “Eh unggas, kamu
pembohong. Katanya kuda tua itu akan mati.”
“Memang mati. Tetapi apa boleh buat, kemarin
sudah dijual oleh majikan kita. Jadi, ya mati dirumah majikannya yang baru.
Tetapi jangan khawatir, Kang. Besok si keledai akan mati.” Si unggas memberi
harapan baru.
Sang majikan yang mendengar hal itu, langsung
menjual keledainya. Biar mati di rumah pemiliknya yang baru. Maka esoknya si
anjing mengeluh kembali.
“Jangan menyalahkan aku, Kang. Keledai pun
mati, tetapi di rumah pemiliknya yang baru. Begini, besok pagi si budak akan
mati. Nah keluarganya pasti akan membagikan makanan kepada fakir miskin dan
anjing-anjing sekampung.” Kata unggas.
Si majikan tidak mau rugi, maka budak itupun
berpindah tangan (dijual).
Esoknya, si anjing marah besar, “Kok, begini
jadinya!”
Si unggas menjawab, “Jangan khawatir, kali ini
tidak salah lagi, besok yang akan mati majikan kita. Nah, besok pagi anaknya
pasti memberi makanan (selametan). Dan pasti akan menyembelih sapi. Kamu
berpesta deh…”
Mendengar ramalan tentang kematiannya, si
majikan berkeringatan hingga seluruh badan basah kuyub. Berlari – lari dia
mendatangi rumah Nabi Musa, “Nabi, lindungilah aku.”
“Lindungi kamu? Bukankah kamu sudah cukup
pintar melindungi diri? Selama ini kamu sudah berhasil melindungi diri dari
kerugian,” kata Nabi Musa.
“Maafkan aku Nabi.” Dan pemuda itu mulai
menangis terisak – isak.
“Anak panah yang sudah dilepaskan tidak bisa
kembali lagi. Saya hanya bisa berdoa agar imanmu dan kenyakinanmu menyertai
kamu.”
Belum selesai mendengar jawaban sang Nabi, pemuda
itu merasa mual. Seperti ingin muntah. Dengan dibantu oleh mereka yang
mengantarnya, dia pulang ke rumah. Pikir dia, rasa mual itu disebabkan oleh
salah makan. Dan kalau sudah muntah, rasa mualnya akan hilang. Dia masih tidak
sadar bahwa ajalnya sudah dekat.
Esok harinya Nabi Musa berdoa, “Ya Allah, Ya
Rabb. Biarkan iman dia, kenyakinan dia menyertai dia. Lindungilah dia.”
Tuhan menanggapi doa yang berasal dari hati
yang tulus itu, “Musa, jika engkau menghendakinya, akan Kubangkitkan kembali
jasadnya yang sudah tidak bernyawa.”
“Tidak, Tuhanku. Tidak. Apa gunanya kebangkitan
dalam dunia ini, dunia yang sedang menuju kematian? Bangkitkanlah dia dalam
alam yang kekal….”
SEKIAN………
Pelajaran yang bisa diambil:
Itulah manusia yang hanya memikirkan dunia, dia
selalu merasa tidak puas dan selalu mengaitkan dengan untung-rugi, kelebihan
yang ia miliki dengan menguasai bahasa hewan bukan menambah semakin
mendekekatkan diri dengan Tuhannya, tetapi justru sebaliknya. Ketika mengetahui
ajalnya sudah semakin dekat ia malah ketakutan.
Kira – kira bagaimana dengan anda? Bagaimana anda menghadapi kematian anda? Sudahkah anda persiapkan…
ataukah anda masih takut seperti cerita diatas?
Sumber dari : Kitab Masnawi - Jalaluddin Ar-Rumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar